ENGLAND, 1937. 08:00
Saat itu, semua daun bewarna oranye kecoklatan
berjatuhan dimana-mana. Angin dingin berhembusan kesana kemari, membawa aku dan
keluargaku pergi ke rumah nenek dan kakek di desa.
Dengan mobil biru kecil yang
membawa 4 orang itu pun melaju pergi sekitar jam 08:00 pagi. Aku duduk di dekat jendela bersebelahan
dengan kakak perempuanku Medly, sedangkan ibu duduk di depan di sebelah ayah
yang sedang menyetir. Baru beberapa menit kami berangkat, aku sudah merasa
bosan, akhirnya aku mulai mendengar musik dari mp3 kecil yang sengaja kubawa.
Sambil melihat pemandangan dari jendela, mendengarkan musik, dan makan pocky, akhirnya rasa bosanku mereda
juga. Kulihat dedaunan yang sedang berjatuhan, rumah-rumah penduduk, sungai
kecil yang jernih, kereta kuda kecil yang membawa jerami, serta
binatang-binatang yang ada di dekat sana. Tak terasa waktu berjalan, kami sudah
sampai di rumah nenek dan kakek. Rumah yang lumayan besar untuk ditinggali 2
orang. Rangka rumahnya terbuat dari kayu, menjadi seperti rumah tua. Di samping
kanan terdapat pohon besar yang daunnya mulai berguguran, sedangkan di samping
kirinya terdapat kandang binatang yang terbuat dari kayu. Kami pun disambut
nenek dan kakek ketika masuk ke rumah. Keadaan yang hangat diantara keluarga
kecil di rumah milik nenek dan kakek dalam suasana desa yang damai dan nyaman.
Terlebih, duduk di sofa empuk yang berdekatan dengan tungku api hangat dan
ditemani secangkir coklat panas yang membuat suasana hati tentram...
Terdengar Nenek memanggilku, “Vydi... Bisa bantu Nenek
mengangkat barang-barang ini ke atas?”
“Tentu Nek!” seruku. Akupun mengangkat lebih dari 2
tas besar ke lantai 2, tepatnya ke kamar orangtuaku, dan kini tersisa 2 tas,
yaitu milikku dan kakakku. Akupun membuka perlahan pintu kamar, dan kulihat
ruangan luas dengan 2 pasang kasur yang cukup lebar dengan jendela
ditengah-tengah kedua kasur tersebut. Kulihat tiga tangkai bunga didalam vas
kecil yang masih segar di dekat jendela. Juga rak buku tua yang berisi banyak
buku lama. Walupun terlihat seperti ruangan tua yang jarang ditempati, namun
ruangan itu masih terasa hidup, seakan-akan baru di tinggali. Lalu akupun menaruh
2 tas tersebut di dekat kasur, lalu kembali kebawah. []
23:00
Aku terlelap dalam tidurku. Hanyut didalam mimpi yang
membawaku ke ingatan masa lalu. Terdiam di tepi danau yang berkabut, serta
sunyi nan senyap. Aku menolehkan pandanganku ke samping, dan kulihat sesosok
anak laki-laki. Ia terduduk memeluk kedua kakinya yang terlipat di tepi danau,
muka anak itu seperti orang yang kukenal. Dengan pelan aku menghampirinya, tak
sengaja aku mengedipkan mataku, seketika ia menghilang.
“Tes, tes...” bunyi tetesan air jatuh membangunkan ku.
Aku terjaga seketika. Kulihat kakakku yang masih terlelap, aku yang tak berniat
membangunkannya langsung turun dari tempat tidur. Kulihat tetesan air dari
atap. Deru angin kencang serta hujan badai membuat jendela kamar terbuka serta
tirai jendela melambai-lambai. Kulihat sejenak keadaan diluar jendela. Langit
tanpa bintang yang begitu gelap serta badai yang disertai hujan deras membasahi
wajahku. Aku segera menutup jendela dan beranjak kembali ke kasur. Kubaringkan
tubuh ini agar bisa melihat mimpi barusan. Seperti membangun nostalgia yang
hidup kembali. []
05:30
Aku terbangun karena cahaya fajar menyinari wajahku.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela. Jendela yang disinari cahaya itu
berkilauan serta masih terdapat tetesan-tetesan air hujan. Aku melihat ke arah kakakku, ia masih
terlelap. Aku turun dari kasur dan kubuka pintu perlahan. Lalu menuju ruang
makan, tapi tak ada satupun orang disana.
“Mungkin semua orang masih tidur...” pikirku. Tak habis
berpikir, langsung kuambil dan kukenakan jaketku untuk melihat keadaan diluar. Saat
aku membuka pintu, terlihat olehku keadaan yang sejuk disertai sinar matahari
hangat, serta genangan air disana-sini. Kumbang dan kupu-kupu berterbangan
kesana-kemari. Tupai-tupai disela-sela pohon, serta orang-orang yang bekerja
dengan menaiki kereta yang ditarik kuda. Kemudian akupun melihat salah satu
genangan air yang cukup besar. Tak seperti genangan air lainnya, genangan itu
tak memantulkan cahaya seperti air tak berdasar. Aku mencelupkan telapak tangan
ku ke genangan itu.
“Lho? Kok tak ada tanahnya?” aku terus mendorong
tangan ku agar bisa merasakan dasarnya.
Tiba-tiba diriku terhisap kedalamnya.
[]
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar