ITALY, 1948. 11:00
Hiruk piruk keadaan kota membangunkan Vydia. Ia merasa
bahwa tubuhnya terduduk di sisi jalan.
Dengan perlahan, ia pun membuka matanya.
Dilihatnya keadaan jalanan yang dipadati banyak orang dan kendaraan yang menderu, serta bangunan yang terjajar di sisi jalan. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, terduduk di sisi jalan yang ramai dikota Perugia di wilayah Umbria. Vydia menatap sekelilingnya. Mana mungkin wilayah pedesaan yang damai tiba-tiba berubah menjadi jalanan kota yang ramai? Setidaknya, itu yang ia pikirkan sambil tetap memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Saat Vydia mulai megingat, ia sadar bahwa sebelumnya ia terhisap dalam sebuah kubangan air yang tak berdasar. Vydia kemudian berdiri, dan mulai berjalan tak tentu arah, menjauhi keramaian tersebut.
Dilihatnya keadaan jalanan yang dipadati banyak orang dan kendaraan yang menderu, serta bangunan yang terjajar di sisi jalan. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, terduduk di sisi jalan yang ramai dikota Perugia di wilayah Umbria. Vydia menatap sekelilingnya. Mana mungkin wilayah pedesaan yang damai tiba-tiba berubah menjadi jalanan kota yang ramai? Setidaknya, itu yang ia pikirkan sambil tetap memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Saat Vydia mulai megingat, ia sadar bahwa sebelumnya ia terhisap dalam sebuah kubangan air yang tak berdasar. Vydia kemudian berdiri, dan mulai berjalan tak tentu arah, menjauhi keramaian tersebut.
“Ayah..., Ibu..., Kak..., kalian dimana?”, teriak
Vydia dengan lantang. Rasa cemas pun mulai menguasai dirinya. Iapun berlari menerobos
diantara banyaknya orang yang sedang berlalu-lalang.
“Nenek...., Kakek.....” ia berlari terlalu cepat,
sampai menabrak orang di depannya.
“M...maaf” kata Vydia yang duduk terjatuh dan menunduk.
“Cosa stai facendo qui?! (apa yang kau lakukan disini?!)”
Vydia langsung menatap ke arah orang itu. Orang itu adalah wanita muda yang berambut
pendek dan mengenakan jaket yang panjang serta tas selempang kecil. “Apa yang
ia katakan?”, pikirnya sembari bingung. Wanita itu belum selesai bicara, dan masih
melanjutkan perkataannya.
“Vydia Beatrof!” ucapnya dengan nada tinggi. Vydia
langsung tertuju dengan wajah wanita itu. Wajah yang terasa sangat asing
baginya. “Mengapa ia bisa tau namaku?” seketika Vydia terheran.
“M...maaf, bisa berbicara Bahasa Inggris?” tanya Vidya
dengan sopan. Wanita itu pun langsung menunjukkan raut muka terkejut.
“Perdonatemi (maaf)” ucap wanita itu sembari kaget. Wanita
itu kemudian menjulurkan tangannya, tampak ingin membantu Vydia untuk bangun.
“Lebih baik kita bicara disana” ia mulai berbicara
inggris, dan menunjuk ke sebuah cafe kecil di seberang jalan.
Cafe berarsitektur Renaissance1 khas Italia
yang minimalis. Mereka pun memilih untuk duduk di bangku dekat jendela.
“Mau pesan apa?” wanita itu mulai bertanya kepada
Vydia sambil memberikan daftar menu. Vidia langsung memeriksa sakunya. Tak
disangka, ia menemukan dompet dalam sakunya itu. Dan seketika Vydia terheran,
“Apakah tadi aku membawa dompet?” pikirnya.
“Ayo cepat, biar aku yang membayarnya” ucap wanita
itu.
“Ah... kalau begitu... aku pesan Liqu... Liquer Cof...fee
saja” ucap Vydia tebata-bata. Karena
tak ada menu lain selain kopi, iapun memesan secangkir kopi dengan cream
diatasnya.
“Kau
tak mau memesan cake? Kalau begitu akanke pesankan satu” Tanya wanita itu lagi.
“Tak
apa-apa, aku sudah kenyang” tolak Vydia dengan sopan. “Sebenarnya aku belum sarapan
sejak dari rumah nenek” pikirnya. Lalu Vydia kembali melihat dompetnya,
“Mengapa disakuku ada dompet ini?!” Vydiapun memeriksa sakunya lagi, “Apa ada
barang lain lagi disini” pikirnya panasaran.
Saat tangannya merasa menyentuh benda kecil yang keras, ia langsung
mengelurkannya sesegera. “....?! Kunci? Mengapa ada kunci di sakuku?” pikirnya
heran.
“Ada
apa?” tanya wanita itu dengan heran.
“Eng...
tidak ada apa-apa” jawabku seakan-akan tak ada hal aneh yang terjadi. Wanita
itu memperhatikan kunci yang aku pegang.
“Ada
apa dengan kunci rumahmu?”
“Kunci
rumah?” tanya Vydia dengan spontan.
“Eh?
Masa kau tak ingat kunci rumahmu sendiri. Lebih tepatnya kunci mansion mu” kata
wanita itu. Sambil mengunyah potongan eclair.
“Eng...
maaf, tapi anda siapa?” tanya Vydia begitu saja.
“Apa
kepalamu terbentur? Akukan rekan kerjamu, Ernest” ucap wanita itu tak percaya
kepada Vydia.
“O...
begitu ya?” jawab Vydia dengan pelan. Wanita yang bernama Ernest itu melihat
Vydia dengan tatapan khawatir, sedangkan Vydia hanya bisa berdiam.
“Kalau
begitu, kita bicarakan besok saja. Ayo pulang” tawar wanita itu.
“Tapi
rumahku, mansionku jauh dari sini, E... Ernest” ucap Vydia dengan pelan sambil
memperhatikan kopi yang sudah dingin.
“Bicara
apa kau ini, di pertigaan itu ‘kan mansion rumahmu! Kita bicarakan masalah ini
besok jam 9, di kantorku”
Vydia
hanya mengangguk pelan dalam kebisuannya. Vydiapun memasukan kuncinya ke
sakunya lagi. Dan kemudian, Ernest mengantar Vydia ke mansion tempat tinggal
Vydia tersebut.
“Terima
kasih, Ernest”
“Jika
ada sesuatu, kabari aku” Ernest melambaikan tangan. Dan wanita itu menjauh dari
pandangan Vydia.
Vydia
pun mengambil kunci di dalam sakunya. Ia membuka pintu dengan pelan dan tatapan
kosong yang membisu. Vydia pun langsung membaringkan tubuhnya di kasur.
“Aku
harap, bisa keluar dari mimpi ini” ucapnya dengan pelan. []
06:00
Bunyi
alarm radio membangunkan Vydia, Vydia terbangun lalu menghela napasnya. ia
beranjak ke kamar mandi dan menggosok gigi. Saat ia melihat pantulan dirinya di
cermin, ia kaget dan tak percaya, muka kanak-kanaknya berubah menjadi muka orang
dewasa. Vydia terkejut dan langsung berkumur-kumur serta membasuh wajahnya.
Saat ia melihat wajahnya kembali, Vydia sadar bahwa barusan bukan khayalannya
semata. Vydiapun melihat seluruh tubuhnya dan ia tak percaya tubuhnya sangat
tinggi dari terakhir kali ia megukur tingginya di rumah nenek. Vydia menutup
matanya dan berharap agar ilusi ini segera hilang.
Vydia
menghela napas panjang, dan menenangkan dirinya. Dilihatnya koran diatas meja
makan, saat ia membaca tanggalnya, tertulis disana “Jan/10/1940”. Ia sangat
terkejut. “Saat ini aku 22 tahun?!”
Ia
melihat keadaan diluar pintu mansion dan melihat ke sisi bawah ke arah jalanan.
Dan dilihatnya jalanan yang masih sepi disinari cahaya mentari, menghantarkan
kicauan burung serta angin yang berhembus dengan lembut mengibaskan rambut
panjangnya. Vydia merasakan keadaan yang begitu nyaman di bawah langit Perugia.
[]
10:00
“Tok,
tok, tok” seketika terdengar ketukan dari pintu mansion Vydia. Sesegera Vydia
membuka pintunya.
“Kau
sangat lama! Sudah lebih 1 jam dari yang direncanakan! Kemana saja kau?!”
seketika omelan Ernest dibalik pintu mengagetkan Vydia.
“A...
maaf, aku lupa kalau sekarang ada rencana. Sebentar, aku pakai jaket dulu!!”
Vydia bergegas mengenakan jaketnya yang tebal. Ernest hanya bisa menghela napas
panjang.
“Jadi,
kantormu di mana?” tanya Vydia seolah menyeret pembicaraan sambil berjalan di
trotoar yang cukup ramai. Tapi Ernest hanya bisa terpaku tajam kedepan dan
menganggapnya seperti kerikil yang terjatuh di pinggir jalan. Langkah kaki
Ernest bertambah cepat, dan tak menghiraukan Vydia yang berjalan di sampingnya.
“Kita
sampai” ucap Ernest hendak memasuki sebuah gedung bertingkat.
“Ikut
aku” ajak Ernest sambil menaki tangga ke sebuah ruangan. Ernest membuka pintu
ruangan tersebut, meja kerja yang dipenuhi kertas-kertas tak beraturan. Kursi
sofa di sisi kiri ruangan, terletak disebelah meja kecil yang diletakan telpon
di atasnya. Ernest menyuruh Vydia duduk di sebuah kursi kecil di sisi kanan
meja kerja Ernest setelah ia duduk di bangku kerjanya.
“Jadi
tentang pembicaraan itu, kami menyuruhmu dan Edmond Alphonse untuk melakukan
riset di wilayah Peru. Dan juga disertai 2 orang spesialis” ujar Ernest.
“Riset?”
tanya Vydia dengan heran.
“Kalian
akan melakukan penelitian di wilayah Peru”
“Tunggu,
siapa Edmond Alphonse?” Ernest hanya tersenyum kecil terhadap pertanyaan Vydia.
Dan Vydia hanya bisa terheran dari senyum Ernest.
“Silakan
masuk” ucap Ernest. Sesosok pemuda berkacamata yang mengenakan jaket panjang
itu membuka pintu ruangan Ernest. Vydia memperhatikan pemuda itu. Seketika
pemuda itu melirik sinis ke arah Vydia. Ernest pun memperkenalkan Vydia
kepadanya.
“Mengapa
aku ditugaskan bersamanya?!”
“Minggu
lalu kau bilang akan sepakat jika kau di berikan partner. Jadi jangan
mengeluh!!!” tegas Ernest. Vidya terpaksa menurutinya.
“Kalian
akan ditugaskan untuk melakukan riset terhadap artifact yang berada di Maccu
Picchu, Peru” ujar Ernest. Pemuda yang bernama Alphonse itu hanya mengangguk,
seakan ia menganggap ringan tugas tersebut. Sedangkan Vydia hanya bisa bermuka
datar sambil menggembungkan pipinya.
“Tunggu,
apa itu artifact?” tanya Vydia kemudian.
“Apa
kau sedang sakit? Kau pasti tau, artifact merupakan benda arkologi atau
peninggalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat oleh manusia
yang dapat dipindahkan. Seperti alat-alat batu, logam, prasasti lempeng dan
lain-lain. Bagaimana kau bisa lupa...” gerutu Ernest.
“Tapi
untuk apa kita melakukan penelitian ini?” tanya Vydia.
“Penelitian
ini kita lakukan untuk menggali lebih dalam sejarah dari peradaban suku Inca”
ujar Ernest.
“Kalau
begitu, keberangkatan kalian menuju Peru dijadwalkan besok ya!” ujar Ernest
kepada mereka berdua.
“Tapi,
apakah tidak terlalu cepat? Padahal baru saja ditugaskan sekarang?!” ucap Vydia
secara spontan.
“Tugas
ini sudah dijadwalkan untuk besok. Terutama kau Vydia, jangan sampai kau
terlambat lagi! Aku akan mengantarmu ke Bandara Santegido, jadi bersiaplah sebelum
jam 1 malam!” ujar Ernest dengan tegas.
“Hah?
Jam 1 malam? Yang benar saja kita berangkat jam segitu?!”
Ernest
menghela napasnya. “Apa kau tak tahu perbedaan waktu antara Italy dengan Peru?
Perbedaan waktunya 7 Jam. Jadi kalian akan tiba di Peru jam 8 pagi” ujar Ernest
dengan sabarnya terhadap Vydia.
Setelah
penjelasan dari Ernest selesai, Alphonse dan Vydia segera keluar dari kantor
tersebut.
“Apakah
ini riset pertama mu?” tanya Alphonse secara tiba-tiba sambil berjalan
ditrotoar disamping Vydia. Namun, Vydia hanya terdiam sejenak
“Ya..
begitulah”
Seketika
wajah pemuda itu sedikit terkejut dengan jawaban Vydia.
“Ada
apa?” Vydia terheran.
“Tidak,
aku hanya merasa aneh” ujar Alphonse terhadap jawaban Vydia.
“Kalau
begitu aku duluan” ucap Alphonse berbelok di persimpangan jalan. “Apakah aku membuat
kesalahan?” seketika Vydia berpikir. []
00:30
Vydia
segera bersiap-siap untuk keberangkatan pertmanya ke luar negri. Hanya saja ia
tak tau berbagai peralatan yang harus dibawa untuk melakukan riset bagi seorang
arkolog. Vydia hanya membedah seluruh isi lemari serta laci-laci di dalam
mansionnya.
“Tok,
tok, tok” suara ketukan pintu terdengar jelas di telinganya
“Apakah
kau sudah siap? Tanya orang di balik pintu tersebut” orang tersebut membuka
pintu. Dan dilihatnya oleh Vydia, Ernest yang terkejut terhadap keadaan mansion
Vydia.
“Apa
yang terjadi?! Mengapa berantakan sekali?!” jengkel Ernest.
“Aku
hanya mencari barang-barang yang dibutuhkan” ujar Vydia. Tapi Ernest hanya
menghela napas panjang, kemudia ia membantu Vydia mengamas peralatan tersebut.
“Apa
ini?!” tanya Ernest.
“itu
hanya buku catatan serta alat tulis...” ujar Vydia. Ernest pun menghela napas
panjang lagi.
“Mengapa
kau tak bawa Plains Trowel? Sudah sangat jelas didepanmu, kenapa tak kau
masukkan?”
“Memangnya
apa kegunaan alat ini?” tanya Vydia saat mengambil alat sejenis sekop tersebut.
“Untuk
memfasilitasi bekerja di tukungan atau canggung. Sini aku masukkan” ujar
Ernest.
“Ambil
Aparatus perekam, serta Kit keselamatan di atas lacimu! Lalu, Pan debu, Scoop
Batubara, dan Shaker Layar” sambung Ernest
“Apakah
hanya segini peralatan yang diperlukan?”
“Sebenarnya
masih ada lagi, Alphonse pasti sudah membawa sisanya. Ayo segera berangkat”
Ajak Ernest sembari keluar dari pintu mansion Vydia.
Vydia
menaiki mobil Ernest menuju bandara Santegido. Mobil kecil itu melaju sekitar
jam 1:15 dini hari. Sepanjang perjalanan Vydia hanya melihat keadaan diluar
jendela mobil “Apakah aku akan baik-baik saja?" pikirnya sepanjang perjalanan.
“Kita
sampai. Ayo keluar” setelah 15 menit lamanya perjalanan, Ernest dan Vydia telah
tiba di bandara. Mereka menunggu di tempat take
off pesawat
“Apakah
Alphonse sudah tiba?” Vydia bertanya seolah memulai topik pembicaraan.
“Apakah
kau tak melihat pemuda di samping kirimu?” Ernest berbalik bertanya kepada
Vydia.
“Pemuda?”
seketia ia terbingung. Vydiapun menoleh kan pandangannya ke samping kirinya. Pemuda
yang ia tanyakan mengenakan jaket serta memakai tas besar dan ia tak berkaca
mata. Vydia berdaham
“....
Kemana kacamata mu?” tanya Vydia menyeretkan suasana. Tetapi Alphonse hanya
mengalihkan pandangan dari Vydia seakan menganggapnya angin yang berlalu.
“Mengapa dia selalu bersikap dingin?!” pikir Vydia dalam kesalnya. Sedangkan Ernest
hanya bisa terdiam melihat tigkah laku mereka.
“Pesawatnya
sudah tiba!” Ernest memberi tahu mereka seolah menyeret suasana.
“Terima
kasih Miss Giordano” ucap Alphonse sembari berjabat tangan.
“Giordano?”
tanya Vydia.
“Margaku”
jawab Ernest dengan singkat.
“Tunggu,
kau tak ikut kami?” tanya Vydia yang hampir masuk ke dalam pesawat.
“Tentu
saja tidak. Kalau begitu, buona fortuna!(semoga beruntung!)“ sebari melambaikan
tangan kepada mereka berdua. []
To be continued
Tidak ada komentar:
Posting Komentar