Sabtu, 14 Maret 2015

Time Traps (Part 2)



ITALY, 1948. 11:00

Hiruk piruk keadaan kota membangunkan Vydia. Ia merasa bahwa  tubuhnya terduduk di sisi jalan. Dengan perlahan, ia pun membuka matanya.
Dilihatnya keadaan jalanan yang dipadati banyak orang dan kendaraan yang menderu, serta bangunan yang terjajar di sisi jalan. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya, terduduk di sisi jalan yang ramai dikota Perugia di wilayah Umbria. Vydia menatap sekelilingnya. Mana mungkin wilayah pedesaan yang damai tiba-tiba berubah menjadi jalanan kota yang ramai? Setidaknya, itu yang ia pikirkan sambil tetap memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Saat Vydia mulai megingat, ia sadar bahwa sebelumnya ia terhisap dalam sebuah kubangan air yang tak berdasar. Vydia kemudian berdiri, dan mulai berjalan tak tentu arah, menjauhi keramaian tersebut.

“Ayah..., Ibu..., Kak..., kalian dimana?”, teriak Vydia dengan lantang. Rasa cemas pun mulai menguasai dirinya. Iapun berlari menerobos diantara banyaknya orang yang sedang berlalu-lalang.

“Nenek...., Kakek.....” ia berlari terlalu cepat, sampai menabrak orang di depannya.

“M...maaf” kata Vydia yang duduk terjatuh dan menunduk.

“Cosa stai facendo qui?! (apa yang kau lakukan disini?!)” Vydia langsung menatap ke arah orang itu. Orang itu adalah wanita muda yang berambut pendek dan mengenakan jaket yang panjang serta tas selempang kecil. “Apa yang ia katakan?”, pikirnya sembari bingung. Wanita itu belum selesai bicara, dan masih melanjutkan perkataannya.

“Vydia Beatrof!” ucapnya dengan nada tinggi. Vydia langsung tertuju dengan wajah wanita itu. Wajah yang terasa sangat asing baginya. “Mengapa ia bisa tau namaku?” seketika Vydia terheran.

“M...maaf, bisa berbicara Bahasa Inggris?” tanya Vidya dengan sopan. Wanita itu pun langsung menunjukkan raut muka terkejut.

“Perdonatemi (maaf)” ucap wanita itu sembari kaget. Wanita itu kemudian menjulurkan tangannya, tampak ingin membantu Vydia untuk bangun.

“Lebih baik kita bicara disana” ia mulai berbicara inggris, dan menunjuk ke sebuah cafe kecil di seberang jalan.

Cafe berarsitektur Renaissance1 khas Italia yang minimalis. Mereka pun memilih untuk duduk di bangku dekat jendela.

“Mau pesan apa?” wanita itu mulai bertanya kepada Vydia sambil memberikan daftar menu. Vidia langsung memeriksa sakunya. Tak disangka, ia menemukan dompet dalam sakunya itu. Dan seketika Vydia terheran, “Apakah tadi aku membawa dompet?” pikirnya.

“Ayo cepat, biar aku yang membayarnya” ucap wanita itu.

“Ah... kalau begitu... aku pesan Liqu... Liquer Cof...fee saja” ucap Vydia tebata-bata. Karena tak ada menu lain selain kopi, iapun memesan secangkir kopi dengan cream diatasnya.

“Kau tak mau memesan cake? Kalau begitu akanke pesankan satu” Tanya wanita itu lagi.

“Tak apa-apa, aku sudah kenyang” tolak Vydia dengan sopan. “Sebenarnya aku belum sarapan sejak dari rumah nenek” pikirnya. Lalu Vydia kembali melihat dompetnya, “Mengapa disakuku ada dompet ini?!” Vydiapun memeriksa sakunya lagi, “Apa ada barang lain lagi disini” pikirnya  panasaran. Saat tangannya merasa menyentuh benda kecil yang keras, ia langsung mengelurkannya sesegera. “....?! Kunci? Mengapa ada kunci di sakuku?” pikirnya heran.

“Ada apa?” tanya wanita itu dengan heran.

“Eng... tidak ada apa-apa” jawabku seakan-akan tak ada hal aneh yang terjadi. Wanita itu memperhatikan kunci yang aku pegang.

“Ada apa dengan kunci rumahmu?”

“Kunci rumah?” tanya Vydia dengan spontan.

“Eh? Masa kau tak ingat kunci rumahmu sendiri. Lebih tepatnya kunci mansion mu” kata wanita itu. Sambil mengunyah potongan eclair.

“Eng... maaf, tapi anda siapa?” tanya Vydia begitu saja.

“Apa kepalamu terbentur? Akukan rekan kerjamu, Ernest” ucap wanita itu tak percaya kepada Vydia.

“O... begitu ya?” jawab Vydia dengan pelan. Wanita yang bernama Ernest itu melihat Vydia dengan tatapan khawatir, sedangkan Vydia hanya bisa berdiam.

“Kalau begitu, kita bicarakan besok saja. Ayo pulang” tawar wanita itu.

“Tapi rumahku, mansionku jauh dari sini, E... Ernest” ucap Vydia dengan pelan sambil memperhatikan kopi yang sudah dingin.

“Bicara apa kau ini, di pertigaan itu ‘kan mansion rumahmu! Kita bicarakan masalah ini besok jam 9, di kantorku”

Vydia hanya mengangguk pelan dalam kebisuannya. Vydiapun memasukan kuncinya ke sakunya lagi. Dan kemudian, Ernest mengantar Vydia ke mansion tempat tinggal Vydia tersebut.

“Terima kasih, Ernest”

“Jika ada sesuatu, kabari aku” Ernest melambaikan tangan. Dan wanita itu menjauh dari pandangan Vydia.

Vydia pun mengambil kunci di dalam sakunya. Ia membuka pintu dengan pelan dan tatapan kosong yang membisu. Vydia pun langsung membaringkan tubuhnya di kasur.

“Aku harap, bisa keluar dari mimpi ini” ucapnya dengan pelan. []

06:00

Bunyi alarm radio membangunkan Vydia, Vydia terbangun lalu menghela napasnya. ia beranjak ke kamar mandi dan menggosok gigi. Saat ia melihat pantulan dirinya di cermin, ia kaget dan tak percaya, muka kanak-kanaknya berubah menjadi muka orang dewasa. Vydia terkejut dan langsung berkumur-kumur serta membasuh wajahnya. Saat ia melihat wajahnya kembali, Vydia sadar bahwa barusan bukan khayalannya semata. Vydiapun melihat seluruh tubuhnya dan ia tak percaya tubuhnya sangat tinggi dari terakhir kali ia megukur tingginya di rumah nenek. Vydia menutup matanya dan berharap agar ilusi ini segera hilang.

Vydia menghela napas panjang, dan menenangkan dirinya. Dilihatnya koran diatas meja makan, saat ia membaca tanggalnya, tertulis disana “Jan/10/1940”. Ia sangat terkejut. “Saat ini aku 22 tahun?!”

Ia melihat keadaan diluar pintu mansion dan melihat ke sisi bawah ke arah jalanan. Dan dilihatnya jalanan yang masih sepi disinari cahaya mentari, menghantarkan kicauan burung serta angin yang berhembus dengan lembut mengibaskan rambut panjangnya. Vydia merasakan keadaan yang begitu nyaman di bawah langit Perugia. []

10:00

“Tok, tok, tok” seketika terdengar ketukan dari pintu mansion Vydia. Sesegera Vydia membuka pintunya.

“Kau sangat lama! Sudah lebih 1 jam dari yang direncanakan! Kemana saja kau?!” seketika omelan Ernest dibalik pintu mengagetkan Vydia.

“A... maaf, aku lupa kalau sekarang ada rencana. Sebentar, aku pakai jaket dulu!!” Vydia bergegas mengenakan jaketnya yang tebal. Ernest hanya bisa menghela napas panjang.

“Jadi, kantormu di mana?” tanya Vydia seolah menyeret pembicaraan sambil berjalan di trotoar yang cukup ramai. Tapi Ernest hanya bisa terpaku tajam kedepan dan menganggapnya seperti kerikil yang terjatuh di pinggir jalan. Langkah kaki Ernest bertambah cepat, dan tak menghiraukan Vydia yang berjalan di sampingnya.

“Kita sampai” ucap Ernest hendak memasuki sebuah gedung bertingkat.

“Ikut aku” ajak Ernest sambil menaki tangga ke sebuah ruangan. Ernest membuka pintu ruangan tersebut, meja kerja yang dipenuhi kertas-kertas tak beraturan. Kursi sofa di sisi kiri ruangan, terletak disebelah meja kecil yang diletakan telpon di atasnya. Ernest menyuruh Vydia duduk di sebuah kursi kecil di sisi kanan meja kerja Ernest setelah ia duduk di bangku kerjanya.

“Jadi tentang pembicaraan itu, kami menyuruhmu dan Edmond Alphonse untuk melakukan riset di wilayah Peru. Dan juga disertai 2 orang spesialis” ujar Ernest.

“Riset?” tanya Vydia dengan heran.

“Kalian akan melakukan penelitian di wilayah Peru”

“Tunggu, siapa Edmond Alphonse?” Ernest hanya tersenyum kecil terhadap pertanyaan Vydia. Dan Vydia hanya bisa terheran dari senyum Ernest.

“Silakan masuk” ucap Ernest. Sesosok pemuda berkacamata yang mengenakan jaket panjang itu membuka pintu ruangan Ernest. Vydia memperhatikan pemuda itu. Seketika pemuda itu melirik sinis ke arah Vydia. Ernest pun memperkenalkan Vydia kepadanya.

“Mengapa aku ditugaskan bersamanya?!”

“Minggu lalu kau bilang akan sepakat jika kau di berikan partner. Jadi jangan mengeluh!!!” tegas Ernest. Vidya terpaksa menurutinya.

“Kalian akan ditugaskan untuk melakukan riset terhadap artifact yang berada di Maccu Picchu, Peru” ujar Ernest. Pemuda yang bernama Alphonse itu hanya mengangguk, seakan ia menganggap ringan tugas tersebut. Sedangkan Vydia hanya bisa bermuka datar sambil menggembungkan pipinya.

“Tunggu, apa itu artifact?” tanya Vydia kemudian.

“Apa kau sedang sakit? Kau pasti tau, artifact merupakan benda arkologi atau peninggalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat oleh manusia yang dapat dipindahkan. Seperti alat-alat batu, logam, prasasti lempeng dan lain-lain. Bagaimana kau bisa lupa...” gerutu Ernest.

“Tapi untuk apa kita melakukan penelitian ini?” tanya Vydia.

“Penelitian ini kita lakukan untuk menggali lebih dalam sejarah dari peradaban suku Inca” ujar Ernest.

“Kalau begitu, keberangkatan kalian menuju Peru dijadwalkan besok ya!” ujar Ernest kepada mereka berdua.

“Tapi, apakah tidak terlalu cepat? Padahal baru saja ditugaskan sekarang?!” ucap Vydia secara spontan.

“Tugas ini sudah dijadwalkan untuk besok. Terutama kau Vydia, jangan sampai kau terlambat lagi! Aku akan mengantarmu ke Bandara Santegido, jadi bersiaplah sebelum jam 1 malam!” ujar Ernest dengan tegas.

“Hah? Jam 1 malam? Yang benar saja kita berangkat jam segitu?!”

Ernest menghela napasnya. “Apa kau tak tahu perbedaan waktu antara Italy dengan Peru? Perbedaan waktunya 7 Jam. Jadi kalian akan tiba di Peru jam 8 pagi” ujar Ernest dengan sabarnya terhadap Vydia.

Setelah penjelasan dari Ernest selesai, Alphonse dan Vydia segera keluar dari kantor tersebut.  

“Apakah ini riset pertama mu?” tanya Alphonse secara tiba-tiba sambil berjalan ditrotoar disamping Vydia. Namun, Vydia hanya terdiam sejenak

“Ya.. begitulah”

Seketika wajah pemuda itu sedikit terkejut dengan jawaban Vydia.

“Ada apa?” Vydia terheran.

“Tidak, aku hanya merasa aneh” ujar Alphonse terhadap jawaban Vydia.

“Kalau begitu aku duluan” ucap Alphonse berbelok di persimpangan jalan. “Apakah aku membuat kesalahan?” seketika Vydia berpikir. []

00:30

Vydia segera bersiap-siap untuk keberangkatan pertmanya ke luar negri. Hanya saja ia tak tau berbagai peralatan yang harus dibawa untuk melakukan riset bagi seorang arkolog. Vydia hanya membedah seluruh isi lemari serta laci-laci di dalam mansionnya.

“Tok, tok, tok” suara ketukan pintu terdengar jelas di telinganya

“Apakah kau sudah siap? Tanya orang di balik pintu tersebut” orang tersebut membuka pintu. Dan dilihatnya oleh Vydia, Ernest yang terkejut terhadap keadaan mansion Vydia.

“Apa yang terjadi?! Mengapa berantakan sekali?!” jengkel Ernest.

“Aku hanya mencari barang-barang yang dibutuhkan” ujar Vydia. Tapi Ernest hanya menghela napas panjang, kemudia ia membantu Vydia mengamas peralatan tersebut.

“Apa ini?!” tanya Ernest.

“itu hanya buku catatan serta alat tulis...” ujar Vydia. Ernest pun menghela napas panjang lagi.

“Mengapa kau tak bawa Plains Trowel? Sudah sangat jelas didepanmu, kenapa tak kau masukkan?”

“Memangnya apa kegunaan alat ini?” tanya Vydia saat mengambil alat sejenis sekop tersebut.

“Untuk memfasilitasi bekerja di tukungan atau canggung. Sini aku masukkan” ujar Ernest.

“Ambil Aparatus perekam, serta Kit keselamatan di atas lacimu! Lalu, Pan debu, Scoop Batubara, dan Shaker Layar” sambung Ernest

“Apakah hanya segini peralatan yang diperlukan?”

“Sebenarnya masih ada lagi, Alphonse pasti sudah membawa sisanya. Ayo segera berangkat” Ajak Ernest sembari keluar dari pintu mansion Vydia.

Vydia menaiki mobil Ernest menuju bandara Santegido. Mobil kecil itu melaju sekitar jam 1:15 dini hari. Sepanjang perjalanan Vydia hanya melihat keadaan diluar jendela mobil “Apakah aku akan baik-baik saja?" pikirnya sepanjang perjalanan.

“Kita sampai. Ayo keluar” setelah 15 menit lamanya perjalanan, Ernest dan Vydia telah tiba di bandara. Mereka menunggu di tempat take off  pesawat

“Apakah Alphonse sudah tiba?” Vydia bertanya seolah memulai topik pembicaraan.

“Apakah kau tak melihat pemuda di samping kirimu?” Ernest berbalik bertanya kepada Vydia.

“Pemuda?” seketia ia terbingung. Vydiapun menoleh kan pandangannya ke samping kirinya. Pemuda yang ia tanyakan mengenakan jaket serta memakai tas besar dan ia tak berkaca mata. Vydia berdaham

“.... Kemana kacamata mu?” tanya Vydia menyeretkan suasana. Tetapi Alphonse hanya mengalihkan pandangan dari Vydia seakan menganggapnya angin yang berlalu. “Mengapa dia selalu bersikap dingin?!” pikir Vydia dalam kesalnya. Sedangkan Ernest hanya bisa terdiam melihat tigkah laku mereka.

“Pesawatnya sudah tiba!” Ernest memberi tahu mereka seolah menyeret suasana.

“Terima kasih Miss Giordano” ucap Alphonse sembari berjabat tangan.

“Giordano?” tanya Vydia.

“Margaku” jawab Ernest dengan singkat.

“Tunggu, kau tak ikut kami?” tanya Vydia yang hampir masuk ke dalam pesawat.

“Tentu saja tidak. Kalau begitu, buona fortuna!(semoga beruntung!)“ sebari melambaikan tangan kepada mereka berdua. []

To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flag Counter