PERU, 08:15
Vydia,
Alphonse, serta para spesialis telah tiba dari Bandara Santegido menuju Bandara
Velazco Astate. Hanya saja butuh waktu berjam-jam untuk menempuh perjalanan ke
tempat berartifact yang mereka tuju. Karena tak ada kendaraan, mereka terpaksa
berjalan kaki.
“Tempat
yang nyaman...” pikir Vydia sambil menarik napasnya perlahan. Sambil menelusiri
hutan yang lebat, dilihatnya keadaan yang masih asri di kota asing tersebut.
Pohon-pohon rindang yang terjajar di mana-mana. Angin yang berhembusan dengan
lembutnya menghantarkan suara alam layaknya keadaan di pedesaan. Namun, dibalik
suasana asri Machu Picchu, Vydia teringat keluarganya yang entah keberadaannya.
“Apa
kau tau sesuatu tentang kota ini?” Vydia bertanya kepada Alphonse sambil
berjalan di sampingnya. Alphonse seketika melirik kearah Vydia.
“Machu
Picchu ini sering disebut ‘Kota Inca yang hilang’ sebuah lokasi reruntuhan Inca
pra-Columbus yang terletak di wilayah pegunungan pada ketinggian sekitar 2.350
m di atas permukaan laut. Macchu Picchu ini berada di atas Lembah Urubamba di
Peru, sekitar 70 km barat Laut Cusco” jelas Alphonse. Sejenak Vydia terdiam, ia
sama sekali tak mengerti dangan apa yang dijelaskan pemuda itu.
“Ng...
lalu, adakah cerita lain dari Macchu Picchu ini?” tanya Vydia kembali.
“Kalau
tidak salah, kota ini dibangun sekitar 1450 SM, tetapi ditinggalkan seratus
tahun kemudian, ketika Spanyol berhasil menaklukkan Kerajaan Inca. Kemudian
Macchu Picchu muncul kembali ke permukaan dunia setelah ditemukan lagi pada
1911 oleh Hiram Bingham” ujar Alphonse sambil berjalan menyingkirkan dedaunan
pohon dengan lengnnya.
“Lalu,
siapa Hiram Bingham?” tanya Vydia kemudian.
“Beliau
adalah Sejarawan bergelar Profesor muda di Amerika. Tunggu, apa kau tak pernah
belajar? Sejarah seperti ini ‘kan sudah dipelajari di Universitas..” Alphonse
menanyakan hal tersebut sambil menatap sinis kepada Vydia.
“..o...
oh, ternyata begitu sejarahnya! Terima kasih sudah mau menjelaskan!!!” Vydia
mengalihkan pembicaraan sambil memaksakan senyumnya terpahat diwajahnya. []
13:00
Siang
itu mereka sampai di wilayah penelitian. Lahan yang cukup luas untuk beberapa
orang yang berada di tempat tersebut. Mereka melakukan tahap demi tahap
penelitian arkeologi di lahan tersebut. Mulai dari Pengumpulan data yang sedang
mereka kerjakan.
“Jadi,
apa saja yang dilakukan dalam pengumpulan data?” tanya Vydia kepada Alphonse
yang sedang melakukan pengamatan.
“Yang
kau lakukan dalam tahap ini hanyalah mencatat tentang jenis tinggalan
arkeologi, lalu tandai dalam peta” jelas Alphonse sambil mengamati keadaan
lingkungan.
“Apakah
hanya itu saja yang dilakukan dalam tahap ini?”
“Sebenarnya
masih banyak lagi”
“Lalu
mengapa hanya sedikit yang kukerjakan? Aku ‘kan rekanmu, biarkan aku membantu
juga!”
“Karena,
hanya tugas ini yang paling mudah
dilakukan untuk orang sepertimu”
“Maksudmu,
kau meremeh kan ku?!” ucap Vydia dengan nada tinggi yang berdiri di belakang
Alphonse. Sedangkan Alphonse hanya terdiam. “Memang benar, di tubuhku ini
berada jiwa yang berusia 11 tahun, tapi setidaknya aku ingin membantu!” pikir
Vydia dengan kesal terhadapnya.
“Ditahap
ini ada penjagaan, survei, survei udara, wawancara, serta sampling. Pilihlah
salah satu yang ingin kau kerjakan”
“Kalau
begitu aku akan melakukan wawan-“
“Karena
di daerah ini tak terlihat satupun warga sekitar, jadi lewatkan sesi wawancara”
potong Alphonse.
Vydia
hanya terdiam dengan muka datarnya. []
22:00
Beberapa
Tenda sudah didirikan didekat lahan penelitian mereka. Saat ini mereka
menghentikan penelitian terhadap penemuan artifact di lahan tersebut.
Semua
orang telah memasuki tendanya masing-masing. Sedangkan Vydia berdiri terdiam di
bawah gelapnya langit malam. Vydia mengangkat kepalanya ke langit malam yang
dihiasi banyaknya gemerlap cahaya. Lebih dari miliyaran bintang terhampar di
langit malam Peru. Serta beberapa bintang jatuh berkeliaran di langit luas nan
megah itu. Suasana sepi, namun damai diantara suasana malam yang cukup dingin.
Saat ia melihat sepasang kakinya yang memijaki daratan tersebut, seketika ia
mulai berpikir “Anak berusia 11 tahun yang berdiri di daratan asing tanpa
keluarga di sekitarnya” Vydia pun beranjak menuju tendanya.
“Apa
besok akan lebih baik?” pikir Vydia saat hendak memejamkan matanya dengan tubuh
yang terbaring di kasur yang tergelar dalam tenda.
Mimpi
yang sama dialaminya kali ini datang kembali. Anak laki-laki itu melirik kearah
Vydia diantara lebatnya hutan. Ia sedikit berjalan dan menghampiri Vydia, mata
anak itu tertutup dedaunan pohon. Kemudian ia mengucap sepatah kata. Namun
Vydia tak mendengar apa yang ia ucapkan. Vydia pun mendekatinya perlahan, namun
anak itu lari menjauhinya. []
4:00
Vydia
terbangun disaat fajar mulai menampakkan dirinya. Ia keluar dari tendanya dan
melihat keeadaan diluar. Saat dilihatnya cahaya yang menyinari daratan Peru,
disitulah pula ia melihat Aphonse berdiri didepan panorama indahnya Maccu Picchu.
Vydia berjalan mendekati menuju pemuda tersebut.
“Panorama
yang indah bukan?” ucapku sambil menepuk pundak kirinya. Namun, Alphonse
membiarkan pertanyaan itu serta mengalihkan pandangannya ke samping kanannya.
Kemudian pemuda itu pergi menjauhi Vydia.
“Ada
apa dengannya?” pikir Vydia sambil memperhatikan pemuda itu menjauhinya. []
6:00
Penelitianpun
berlanjut kembali. Kali ini mereka melakukannya tanpa perselisihan sedikitpun.
Beberapa jam kemudian, Alphonse menemukan suatu benda keras yang terkubur tak
terlalu dalam di tanah. Ia menemukan sebongkahan
batu dengan ukiran kuno di dalam tanah yang ia gali.
“Alphonse,
tugas ku sudah selasai. Bagaimana dengan-“ seketika Vydia terdiam saat melihat Alphonse
yang terduduk dan memegang batu berukiran kuno.
“Sudah
ketemu?! Padahal baru saja mengerjakan penggalian” ujar Vydia dengan senang
terhadap temuan rekannya.
“Tunggu,
apakah ini yang disebut Inca Stones? Tapi-” ucapan Vydia
“Pada
tahun 1930 seorang Antropolog kebudayaan Inca, Peru, menemukan ratusan batu
untuk upacara pemakaman di makam suku Inca kuno. Lalu anak dari antorpolog
tersebut melanjutkan pekerjaannya, dan telah mengumpulkan lebih dari 1.100 batu
andesit2 tersebut. Yang diperkirakan berumur 500-1.500 tahun” potong
Alphonse terhadap Vydia yang masih berbicara.
“Dan
sekarang kau menemukannya! Itu sangat hebat. Tapi, apakah ukiran dinosaurus
serta roket dan astronot ini membuktikan bahwa ini artifact kuno? Walaupun
sudah terkubur, namun apakah batu ini benar-benar asli?”
Alphonse
hanya mengangguk pelan sambil menatapi batu yang ia pegang.
“Setahuku,
hasil pahatan pada Inca Stones hampi mirip dengan buatan suku indian. Dan batu-batu ini dibuat dan dijual oleh suku
indian, tetapi tak ada yang mengambarkan hal-hal berbau sains tingkat tinggi
dan dinosaurus. Batu suku indian hanya bergambar hewan-hewan pada masa itu,
ritual pemujaan serta beberapa hal yang dianggap wajar. Dan ada kabar, Inca
Stones adalah batu yang baru dibuat puluhan tahun kebelakang” ucapnya sambil
mengingat kembali isi buku sejarah yang ia baca dari rak buku tua di rumah
nenek dan kakeknya.
“Menurutku
batu ini benar-benar asli” ucap Alphone dengan singkat.
Seketika
Alphonse berdiri dari posisi duduknya dan mengamankan benda tersebut dalam
kotak kayu.
“Apa
yang akan kau lakukan?” tanya Vydia yang terheran.
“Akanku
analisis artifact ini” ujar Alphonse sembari berjalan menjauhi Vydia. Vydia pun
berjalan mendekati Alphonse.
“Kalau
begitu, itu akan diserahkan ke tim spesialis bukan?” tanya Vidia yang berjalan
mengikuti Alphonse di belakangnya.
“Aku
akan menganalisisnya sendiri” ujar pemuda itu.
“Tapi
kau tak bisa begitu, mereka juga bagian dari penelitian ini!” ucap Vydia dengan
bernada tinggi. Namun pemuda itu tak menghiraukannya dan memasuki tendanya.
“Hei!
Apa kau mendengarkan ku?!” ucap Vydia dengan nada tinggi lalu membuka kain
untuk masuk ke dalam tendanya.
“Aku
tak memperbolehkanmu memasuki tendaku seenaknya” ucapnya sambil membaca buku
serta berkas-berkas penelitian dengan mengenakan kacamatanya kembali.
“Apa
kau tak sadar, kau yang bersikap seenaknya disini, apakah rekan tak berguna
bagimu?!” Vydia sedikit membentak pemuda itu.
“Tak
ada rekan bagiku” ucapan yang keluar dari Alphonse terdengar jelas di telinga
Vydia, dan berpikiran bahwa pemuda itu mulai membuatnya jengkel.
“Jadi
semua ini kau anggap usaha sendiri?! Apakah kau sadar, bahwa semua ini terjadi
karena banyak pihak yang bersangkutan! Sekarang kau menganggapnya kaulah
satu-satunya yang melakukan semua penelitian ini?!” emosi Vydia pun meluap.
Namun Alphonse hanya terdiam sambil membaca buku.
“Besok
akan kubawa batu ini ke Italy, jadi penelitian ini sudah usai. Cepat keluar
dari sini!” ucap tegas pemuda itu terhadap Vydia. Vydia pun memilih untuk
keluar dari tempat itu daripada mengomel pada orang yang tak menganggapnya
sebagai rekannya. Saat diluar ia melihat dua orang spesialis yang tengah
memperhatikannya dari samping.
Kedua
orang spesailis tersebut mendekati Vydia
“Apakah
ia bertindak egois lagi?” tanya spesialis wanita berambut pirang yang dikepang
panjang serta memakai topi.
“Tunggu,
’lagi’?” tanya Vydia. Kedua orang sepsialis itu mengangguk pelan.
“Ini
ketiga kalinya kami melakukan penelitian bersama Alphonse, namun ia masih saja
egois” ucap spesialis pria yang mengenakan topi.
“Ya,
ini ketiga kalinya ia bertindak egois. Ia sangat berbeda dengan ayahnya” ucap
spesialis wanita.
“Ayahnya?
Tapi mengapa tidak ayahnya yang melakukan penelitian ini?” tanya Vydia dengan
heran.
“Ayahnya,
Norbert Alphonse telah meninggal ketika ia masih belajar di universitas. Akhirnya
ia yang melanjutkan pekerjaan ayahnya” jelas spesialis pria.
“Tetapi,
sikapnya yang egois itu sungguh membuat rekan-rekannya kesal. Apa kau bisa
merubah sikapnya yang egois itu?” tanya spesaialis wanita. Vydia memundukkan
sedikit kepalanya dan berpikir akankah ia bisa merubah sikap orang yang selalu
bersikap dingin terhadapnya?
“Akan
aku usahakan!” ucap Vydia terhadap kedua spesialis dihadapannya.
“Kami
mengandalkan mu” kedua orang itu tersenyum lembut kepada Vydia. []
1:00
Hujan
deras serta angin yang berderu kencang membangunkan Vydia dari tidurnya. Angin
yang bertiup kencang itu membuka kain masuk tenda. Segera Vydia meutup kembali
kain tersebut. Tetapi tak sengaja, Vydia melihat kain masuk tenda Alphonse
terbuka di depannya. Saat ia hendak menutupnya, ia tak melihat pemuda itu
didalamnya. Serta kotak kayu yang berisikan batu itupun tak terlihat. Ia menolehkan
pandangan ke kanan kirinya, tetapi tak ada satupun orang di sekitar tempat
tersebut. Vydia kembali memasuki tendanya, dan diambilnya senter serta
dikenakannya jaket yang sangat panjang dan tebal.
Vydia
mulai berjalan memasuki hutan tempat mereka datang sebelumnya. Dedaunan pohon
yang tertiup oleh angin menutupi pandangan Vydia ketika menerobos kencangnya
badai diantara pepohonan hutan yang lebat.
Seketika ia melihat seseorang yang tergeletak di antara lebatnya hutan
dan badai yang menderu kencang.
Tubuh
pemuda yang ia cari itu tergelatak di hadapannya. Serta kotak kayu yang
terdapat di sampingnya dalam posisi jatuh dan terbuka. Vydiapun menyandang
lengan pemuda itu dan mencari tempat berlidung. Disitulah ia melihat goa di
sela-sela pepohonan yang tertiup kencang oleh badai. Mereka berlindung sejenak.
Vydia membaringakan tubuh pemuda itu. Dan Vydia membuat api unggun dari kayu
yang terdapat di goa dan korek api yang terdapat di sakunya untuk menghangatkan
keadaan. Pemuda itu seketika tersadar dan menggerakkan posisi tubuhnya, duduk
tersandar di dinding goa. Iapun melayangkan pandangan di sekitarnya.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Vydia dengan cemas terhadap Alphonse yang terduduk
dihadapannya. Sedangkan Alphonse hanya menganggguk pelan.
Keadaan
sunyi seketika. Hanya tetesan kecil air dari goa yang terdengar.
“Mengapa
kau pergi mencariku?” tanya Alphonse seketika. Vydia pun hanya menggelangkan
kepalanya.
“Tentu
saja karena kau rekanku” jawabnya singkat. Tapi Alphonse hanya terdiam sambil
meunduk.
“Maaf”
ucapnya singkat dalam suasana sunyi. Vydia tak percaya dengan apa yang Alphonse
ucapkan. Sepatah kata yang membuat Vydia senang dalam keadaan sunyinya goa.
“Maaf,
karena aku bertindak sangat egois. Aku hanya ingin menjadi arkeolog ternama
seperti ayahku. Sayangnya beliau wafat saat aku mulai belajar di universitas.
Aku hanya ingin berusaha meneruskan pekerjaannya”
“Tapi,
aku tak banyak membantu. Wawasanku tentang dunia arkeologi tidak cukup banyak”
ucap Vydia. Dan seketika Alphonse terkejut dengan pernyataan Vydia.
“Ada
apa?” tanya Vydia.
“Aku
hanya merasa aneh. Bagaimana bisa arkeolog ternama sepertimu tidak mempunyai
wawasan yang cukup luas... Padahal kau lebih hebat dibanding diriku”
Seketika
Vydia terkejut dengan ucapan pemuda itu. Diapun memalingkan pandangannya ke
samping.
“Aku
memang tak hebat. Aku tak mengerti penelitian yang dilakukan arkeolag, tujuan
dari penelitian ini, serta kedatanganku ke Italy”
“Tapi
kau-”
“Hanya
anak berusia 11 tahun” potong Vydia terhadap ucapan Alphonse.
“Apa
kau sedang bergurau? Arkeolog hebat sepertimu tak mungkin-”
“Tapi
kenyatannya, jiwaku berusia 11 tahun. Aku tak mengerti, mengapa aku bisa berada
di Italy. Sejak kejadian aneh itu” sambung Vydia sambil menundukkan kepalanya.
Alphonse sedikit terkejut terhadap pernyataan Vydia.
“Apa
yang terjadi?”
“Aku
tak tahu pasti, yang kuingat saat itu aku terhisap kubangan air. Dan seketika
aku berada di sisi jalan raya di Italy”
“Tapi
disamping itu, kau telah menyelamatkanku dari badai kencang. Terima kasih
rekanku” ucap Alphonse sambil tersenyum pada Vydia. Seketika tubuh Alphonse
jatuh terbaring dan kembali tak sadarkan diri.
“A-apa
yang terjadi?! Hei! Bangunlah!” teriak Vydia dengan cemas. “Apakah ia demam?”
pikirnya sembari memegang kening pemuda itu yang tengah terbaring.
“Aku
harus mencari bantuan. Tapi, dimana?! Tak ada satupun orang diluar sana” pikir
Vydia dalam cemasnya sesuadah memegang kening pemuda itu yang sangat panas.
“Kit
keselamatan!” seketika Vydia teringat barang bawaannya.
“Oh
tidak! Aku meninggalkannya di tenda!” Vydia sangat cemas dengan keadaan
rekannya. Tanpa pikir panjang iapun berlari keluar goa untuk mencari bantuan.
“Siapapun....
Tolong!!!!” teriak Vydia sambil berlari menerobos dedaunan pohon yang ditiup
badai kencang. Tak sengaja ia jatuh tersandung ke tanah yang basah karena hujan.
“Tolong....
Siapapun!!!!” teriaknya kembali, tapi ia tak melihat satupun orang di
sekelilingnya. Saat ia memoleh kan pandangannya ke arah belakang, Vydia melihat
seorang pemuda yang berpakaian seperti suku pedalaman. Dengan tangan kanan yang
memegang tombak serta tangan kirinya yang memegang hewan buruan. Vydia pun
mendekati pemuda itu dan megatakan bahwa ia butuh bantuan terhadap rekannya.
“Apakah ia mengerti apa yang kuucapkan?” pikirnya sehabis meminta bantuan.
Pemuda itu memangguk. Sepertinya ia mengerti apa yang Vydia katakan. Dan segera
Vydia mengantarkannya ke goa tempat rekannya berada.
“Jadi
kau bisa mengatasinya?” tanya Vydia pada pemuda asing tersebut.
Diapun
hanya mengangguk sambil menyembuhkan rekannya.
“Apa
dia sudah sembuh?” tanya Vydia beberapa menit kemudian. Kali ini pemuda itu
menjawabnya.
“Sekarang
dia sedang tertidur, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” ucapanya kepada Vydia.
“Terima
kasih banyak” Vydia berterima kasih pada pemuda itu. Dan seketika Vydia
teringat, muka pemuda itu persis seperti anak lelaki di mimpinya. Rasa
penasaran Vydiapun mulai terbentuk.
“Kau
berasal dari mana?” tanya Vydia spontan terhadap pemuda itu. Pemuda itu pun
hanya menunduk terdiam terhadap pertanyaan Vydia.
“Aku....
tak tau pasti asalku” jawabnya. Rasa penasaran Vydia semakin besar terhadap
jawaban pemuda itu.
“Saat
aku berusia 9 tahun, dan kejadian aneh menimpaku” jawab singkat pemuda itu.
“Kejadian
aneh? Seperti apa?” tanya Vydia kembali. Pemuda itu mengangguk.
“Aku...
terhisap kedalam danau” ucapnya sambil menunduk.
“Danau?”
Vydia mulai mengingat kejadian aneh dalam mimpinya. Dan iapun teringat sesuatu.
“Danau!
adakah kejadian sebelum kau terhisap?” Vydia semakin penasaran terhadap pemuda
itu. Dan pemuda itu mengangguk kembali.
“Saat
itu, keluarga kami mengunjungi danau. Tapi aku tak ingat dimana tempatnya, yang
pasti saat sore hari aku terduduk di tepi danau tanpa seorang pun di sana. Saat
melihat pantulan dirikiu di danau, tiba-tiba aku terhisap ke dalamnya. Kejadian
aneh itu berlangsung begitu saja. Dan saat kubuka mata, aku berada disini. Peru”
jelas pemuda itu.
“Dan,
siapa nama keluargamu itu?” Vydia bertanya lagi dengan pandangan serius yang tertuju
pada pemuda itu. Sedangkan pemuda itu terdiam sejenak.
“Beatrof”
ucapnya. Vydia terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air
mata mengalir diwajahnya saat pemuda itu mengucap sepatah kata.
“Clement”
panggil Vydia kepada pemuda itu sambil menangis serta memeluknya.
“Selama
ini.... kau berada di sini? Kau.... baik-baik saja? Tak ada.... yang perlu....
dikhawatirkan, kini aku disini” ucap Vydia terbata-bata.
“Kenapa
kau... tau namaku?” tanya pemuda itu. Vydiapun melepaskan pelukannya serta
menghapus air matanya yang membasahi wajahnya.
“Aku...
telah kehilangan adikku... saat kami sekeluarga... mengunjungi danau. Saat sore
hari... semuanya telah... masuk ke vila dekat danau tersebut, aku sadar bahwa
adikku, belum masuk, jadi... aku mencarinya di sekitar danau. saat itu...
keadaanya berkabut, saat kulihat ada anak yang terduduk di tepi danau, aku
mendekatinya, dan seketika anak itu menghilang. Dan kini... anak yang kucari...
duduk... dihadapanku.” jelas Vydia yang masih terbata-bata. Air matanya kembali
mengalir diwajahnya. “Walaupun ayah, ibu, dan kak Medly tak ada di sini, namun
aku bersyukur bisa bertemu dengan adik laki-laki ku” pikir Vydia. Dengan
senyuman lembut, Vydia menatap wajah pemuda yang ia panggil ‘Clement’.
Wajah
pemuda itupun terkejut. Dan air matapun mengalir di wajahnya.
“Kak....
Vydia” dia memeluk kakaknya yang terduduk dihadapannya. Vydia pun membelai
rambut sang adik yang baru ia jumpai. Tangisan sang adik menggema diantara
gelapnya goa yang disinari seberkas cahaya api unggun. Dan seketika, tangisan
itu terpotong oleh sekumpulan orang yang berdiri di depan goa. Mereka
sepertinya memanggil Clement untuk pergi kembali bersama mereka.
“Itu
para pasukan dan kepala suku. Sepertinya aku harus pergi” ucap Clement sembari
melepaskan pelukannya dengan kakaknya. Vydiapun terdiam sejenak.
“Apa
kau tak mau ikut bersamaku?” tanya Vydia terhadap sang adik yang telah berdiri
dari duduknya. Clement hanya
menggelengkan kepalanya.
“Aku...
tak bisa”
“Tapi
kenapa?” spontan Vydia langsung bertanya. Clement hanya membalas pertanyaan
sang kakak dengan senyuman lembut diwajahnya.
“Kita
akan bertemu lagi kak”
“Bukan
akan, tapi pasti” jawab Vydia sambil berdiri dan menghapus air matanya. Ia
tersenyum kepada sang adik yang berdiri dihadapannya.
“Jaga
dirimu baik-baik” sambung Vydia. Clement menjawabnya dengan mengangguk serta
tersenyum kepada kakaknya.
Vydia
melambaikan tangannya kepada sang adik yang mulai menjauh dari pandangannya.
Cuaca cerah menutup kesedihan mereka yang telah terjebak perangkap waktu. []
***
Tim penelitian
kami kembali pulang ke Italy. Semuanya kembali seperti semula. Seakan-akan tak
ada hal yang terjadi. Namun yang masih memenuhi pikiranku, adalah Inca Stones
yang ditemukan Alphonse hilang entah dimana. Dan hal yang masih memenuhi
pikiranku, adalah sekumpulan orang yang pergi menjemput Clement dari goa.
Mungkinkah itu suku Inca kuno yang hilang? Namun suku itu telah hilang pada
masa sebelum masehi. Tapi tak ada bukti pasti terhadap keberadaan mereka saat
ini. []
***
1Abad Pertengahan
2Jenis batuan beku vulkanik
-END-
Waduh.... sepertinya banyak typo.. :' Maklum lah, masih newbie... Makasih buat yang dah baca 3 Part cerpen diatas... Grazie!!!
BAHAHAK, 'RAHMANIME'
BalasHapus