Sabtu, 14 Maret 2015

Time Traps (Part 3)



PERU, 08:15
Vydia, Alphonse, serta para spesialis telah tiba dari Bandara Santegido menuju Bandara Velazco Astate. Hanya saja butuh waktu berjam-jam untuk menempuh perjalanan ke tempat berartifact yang mereka tuju. Karena tak ada kendaraan, mereka terpaksa berjalan kaki.

“Tempat yang nyaman...” pikir Vydia sambil menarik napasnya perlahan. Sambil menelusiri hutan yang lebat, dilihatnya keadaan yang masih asri di kota asing tersebut. Pohon-pohon rindang yang terjajar di mana-mana. Angin yang berhembusan dengan lembutnya menghantarkan suara alam layaknya keadaan di pedesaan. Namun, dibalik suasana asri Machu Picchu, Vydia teringat keluarganya yang entah keberadaannya.  
“Apa kau tau sesuatu tentang kota ini?” Vydia bertanya kepada Alphonse sambil berjalan di sampingnya. Alphonse seketika melirik kearah Vydia.
“Machu Picchu ini sering disebut ‘Kota Inca yang hilang’ sebuah lokasi reruntuhan Inca pra-Columbus yang terletak di wilayah pegunungan pada ketinggian sekitar 2.350 m di atas permukaan laut. Macchu Picchu ini berada di atas Lembah Urubamba di Peru, sekitar 70 km barat Laut Cusco” jelas Alphonse. Sejenak Vydia terdiam, ia sama sekali tak mengerti dangan apa yang dijelaskan pemuda itu.
“Ng... lalu, adakah cerita lain dari Macchu Picchu ini?” tanya Vydia kembali.
“Kalau tidak salah, kota ini dibangun sekitar 1450 SM, tetapi ditinggalkan seratus tahun kemudian, ketika Spanyol berhasil menaklukkan Kerajaan Inca. Kemudian Macchu Picchu muncul kembali ke permukaan dunia setelah ditemukan lagi pada 1911 oleh Hiram Bingham” ujar Alphonse sambil berjalan menyingkirkan dedaunan pohon dengan lengnnya.
“Lalu, siapa Hiram Bingham?” tanya Vydia kemudian.
“Beliau adalah Sejarawan bergelar Profesor muda di Amerika. Tunggu, apa kau tak pernah belajar? Sejarah seperti ini ‘kan sudah dipelajari di Universitas..” Alphonse menanyakan hal tersebut sambil menatap sinis kepada Vydia.
“..o... oh, ternyata begitu sejarahnya! Terima kasih sudah mau menjelaskan!!!” Vydia mengalihkan pembicaraan sambil memaksakan senyumnya terpahat diwajahnya. []
13:00
Siang itu mereka sampai di wilayah penelitian. Lahan yang cukup luas untuk beberapa orang yang berada di tempat tersebut. Mereka melakukan tahap demi tahap penelitian arkeologi di lahan tersebut. Mulai dari Pengumpulan data yang sedang mereka kerjakan.
“Jadi, apa saja yang dilakukan dalam pengumpulan data?” tanya Vydia kepada Alphonse yang sedang melakukan pengamatan.
“Yang kau lakukan dalam tahap ini hanyalah mencatat tentang jenis tinggalan arkeologi, lalu tandai dalam peta” jelas Alphonse sambil mengamati keadaan lingkungan.
“Apakah hanya itu saja yang dilakukan dalam tahap ini?”
“Sebenarnya masih banyak lagi”
“Lalu mengapa hanya sedikit yang kukerjakan? Aku ‘kan rekanmu, biarkan aku membantu juga!”
“Karena, hanya tugas ini  yang paling mudah dilakukan untuk orang sepertimu”
“Maksudmu, kau meremeh kan ku?!” ucap Vydia dengan nada tinggi yang berdiri di belakang Alphonse. Sedangkan Alphonse hanya terdiam. “Memang benar, di tubuhku ini berada jiwa yang berusia 11 tahun, tapi setidaknya aku ingin membantu!” pikir Vydia dengan kesal terhadapnya.
“Ditahap ini ada penjagaan, survei, survei udara, wawancara, serta sampling. Pilihlah salah satu  yang ingin kau kerjakan”
“Kalau begitu aku akan melakukan wawan-“
“Karena di daerah ini tak terlihat satupun warga sekitar, jadi lewatkan sesi wawancara” potong Alphonse.
Vydia hanya terdiam dengan muka datarnya. []
22:00
Beberapa Tenda sudah didirikan didekat lahan penelitian mereka. Saat ini mereka menghentikan penelitian terhadap penemuan artifact di lahan tersebut.
Semua orang telah memasuki tendanya masing-masing. Sedangkan Vydia berdiri terdiam di bawah gelapnya langit malam. Vydia mengangkat kepalanya ke langit malam yang dihiasi banyaknya gemerlap cahaya. Lebih dari miliyaran bintang terhampar di langit malam Peru. Serta beberapa bintang jatuh berkeliaran di langit luas nan megah itu. Suasana sepi, namun damai diantara suasana malam yang cukup dingin. Saat ia melihat sepasang kakinya yang memijaki daratan tersebut, seketika ia mulai berpikir “Anak berusia 11 tahun yang berdiri di daratan asing tanpa keluarga di sekitarnya” Vydia pun beranjak menuju tendanya.
“Apa besok akan lebih baik?” pikir Vydia saat hendak memejamkan matanya dengan tubuh yang terbaring di kasur yang tergelar dalam tenda.
Mimpi yang sama dialaminya kali ini datang kembali. Anak laki-laki itu melirik kearah Vydia diantara lebatnya hutan. Ia sedikit berjalan dan menghampiri Vydia, mata anak itu tertutup dedaunan pohon. Kemudian ia mengucap sepatah kata. Namun Vydia tak mendengar apa yang ia ucapkan. Vydia pun mendekatinya perlahan, namun anak itu lari menjauhinya. []
4:00
Vydia terbangun disaat fajar mulai menampakkan dirinya. Ia keluar dari tendanya dan melihat keeadaan diluar. Saat dilihatnya cahaya yang menyinari daratan Peru, disitulah pula ia melihat Aphonse berdiri didepan panorama indahnya Maccu Picchu. Vydia berjalan mendekati menuju pemuda tersebut.
“Panorama yang indah bukan?” ucapku sambil menepuk pundak kirinya. Namun, Alphonse membiarkan pertanyaan itu serta mengalihkan pandangannya ke samping kanannya. Kemudian pemuda itu pergi menjauhi Vydia.
“Ada apa dengannya?” pikir Vydia sambil memperhatikan pemuda itu menjauhinya. []
6:00
Penelitianpun berlanjut kembali. Kali ini mereka melakukannya tanpa perselisihan sedikitpun. Beberapa jam kemudian, Alphonse menemukan suatu benda keras yang terkubur tak terlalu dalam di tanah.  Ia menemukan sebongkahan batu dengan ukiran kuno di dalam tanah yang ia gali.
“Alphonse, tugas ku sudah selasai. Bagaimana dengan-“ seketika Vydia terdiam saat melihat Alphonse yang terduduk dan memegang batu berukiran kuno.
“Sudah ketemu?! Padahal baru saja mengerjakan penggalian” ujar Vydia dengan senang terhadap temuan rekannya.
“Tunggu, apakah ini yang disebut Inca Stones? Tapi-” ucapan Vydia
“Pada tahun 1930 seorang Antropolog kebudayaan Inca, Peru, menemukan ratusan batu untuk upacara pemakaman di makam suku Inca kuno. Lalu anak dari antorpolog tersebut melanjutkan pekerjaannya, dan telah mengumpulkan lebih dari 1.100 batu andesit2 tersebut. Yang diperkirakan berumur 500-1.500 tahun” potong Alphonse terhadap Vydia yang masih berbicara.
“Dan sekarang kau menemukannya! Itu sangat hebat. Tapi, apakah ukiran dinosaurus serta roket dan astronot ini membuktikan bahwa ini artifact kuno? Walaupun sudah terkubur, namun apakah batu ini benar-benar asli?”
Alphonse hanya mengangguk pelan sambil menatapi batu yang ia pegang.
“Setahuku, hasil pahatan pada Inca Stones hampi mirip dengan buatan suku indian. Dan  batu-batu ini dibuat dan dijual oleh suku indian, tetapi tak ada yang mengambarkan hal-hal berbau sains tingkat tinggi dan dinosaurus. Batu suku indian hanya bergambar hewan-hewan pada masa itu, ritual pemujaan serta beberapa hal yang dianggap wajar. Dan ada kabar, Inca Stones adalah batu yang baru dibuat puluhan tahun kebelakang” ucapnya sambil mengingat kembali isi buku sejarah yang ia baca dari rak buku tua di rumah nenek dan kakeknya.
“Menurutku batu ini benar-benar asli” ucap Alphone dengan singkat.
Seketika Alphonse berdiri dari posisi duduknya dan mengamankan benda tersebut dalam kotak kayu.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Vydia yang terheran.
“Akanku analisis artifact ini” ujar Alphonse sembari berjalan menjauhi Vydia. Vydia pun berjalan mendekati Alphonse.
“Kalau begitu, itu akan diserahkan ke tim spesialis bukan?” tanya Vidia yang berjalan mengikuti Alphonse di belakangnya.
“Aku akan menganalisisnya sendiri” ujar pemuda itu.
“Tapi kau tak bisa begitu, mereka juga bagian dari penelitian ini!” ucap Vydia dengan bernada tinggi. Namun pemuda itu tak menghiraukannya dan memasuki tendanya.
“Hei! Apa kau mendengarkan ku?!” ucap Vydia dengan nada tinggi lalu membuka kain untuk masuk ke dalam tendanya.
“Aku tak memperbolehkanmu memasuki tendaku seenaknya” ucapnya sambil membaca buku serta berkas-berkas penelitian dengan mengenakan kacamatanya kembali.
“Apa kau tak sadar, kau yang bersikap seenaknya disini, apakah rekan tak berguna bagimu?!” Vydia sedikit membentak pemuda itu.
“Tak ada rekan bagiku” ucapan yang keluar dari Alphonse terdengar jelas di telinga Vydia, dan berpikiran bahwa pemuda itu mulai membuatnya jengkel.
“Jadi semua ini kau anggap usaha sendiri?! Apakah kau sadar, bahwa semua ini terjadi karena banyak pihak yang bersangkutan! Sekarang kau menganggapnya kaulah satu-satunya yang melakukan semua penelitian ini?!” emosi Vydia pun meluap. Namun Alphonse hanya terdiam sambil membaca buku.
“Besok akan kubawa batu ini ke Italy, jadi penelitian ini sudah usai. Cepat keluar dari sini!” ucap tegas pemuda itu terhadap Vydia. Vydia pun memilih untuk keluar dari tempat itu daripada mengomel pada orang yang tak menganggapnya sebagai rekannya. Saat diluar ia melihat dua orang spesialis yang tengah memperhatikannya dari samping.
Kedua orang spesailis tersebut mendekati Vydia
“Apakah ia bertindak egois lagi?” tanya spesialis wanita berambut pirang yang dikepang panjang serta memakai topi.
“Tunggu, ’lagi’?” tanya Vydia. Kedua orang sepsialis itu mengangguk pelan.
“Ini ketiga kalinya kami melakukan penelitian bersama Alphonse, namun ia masih saja egois” ucap spesialis pria yang mengenakan topi.
“Ya, ini ketiga kalinya ia bertindak egois. Ia sangat berbeda dengan ayahnya” ucap spesialis wanita.
“Ayahnya? Tapi mengapa tidak ayahnya yang melakukan penelitian ini?” tanya Vydia dengan heran.
“Ayahnya, Norbert Alphonse telah meninggal ketika ia masih belajar di universitas. Akhirnya ia yang melanjutkan pekerjaan ayahnya” jelas spesialis pria.
“Tetapi, sikapnya yang egois itu sungguh membuat rekan-rekannya kesal. Apa kau bisa merubah sikapnya yang egois itu?” tanya spesaialis wanita. Vydia memundukkan sedikit kepalanya dan berpikir akankah ia bisa merubah sikap orang yang selalu bersikap dingin terhadapnya?
“Akan aku usahakan!” ucap Vydia terhadap kedua spesialis dihadapannya.
“Kami mengandalkan mu” kedua orang itu tersenyum lembut kepada Vydia. []
1:00
Hujan deras serta angin yang berderu kencang membangunkan Vydia dari tidurnya. Angin yang bertiup kencang itu membuka kain masuk tenda. Segera Vydia meutup kembali kain tersebut. Tetapi tak sengaja, Vydia melihat kain masuk tenda Alphonse terbuka di depannya. Saat ia hendak menutupnya, ia tak melihat pemuda itu didalamnya. Serta kotak kayu yang berisikan batu itupun tak terlihat. Ia menolehkan pandangan ke kanan kirinya, tetapi tak ada satupun orang di sekitar tempat tersebut. Vydia kembali memasuki tendanya, dan diambilnya senter serta dikenakannya jaket yang sangat panjang dan tebal.
Vydia mulai berjalan memasuki hutan tempat mereka datang sebelumnya. Dedaunan pohon yang tertiup oleh angin menutupi pandangan Vydia ketika menerobos kencangnya badai diantara pepohonan hutan yang lebat.  Seketika ia melihat seseorang yang tergeletak di antara lebatnya hutan dan badai yang menderu kencang.
Tubuh pemuda yang ia cari itu tergelatak di hadapannya. Serta kotak kayu yang terdapat di sampingnya dalam posisi jatuh dan terbuka. Vydiapun menyandang lengan pemuda itu dan mencari tempat berlidung. Disitulah ia melihat goa di sela-sela pepohonan yang tertiup kencang oleh badai. Mereka berlindung sejenak. Vydia membaringakan tubuh pemuda itu. Dan Vydia membuat api unggun dari kayu yang terdapat di goa dan korek api yang terdapat di sakunya untuk menghangatkan keadaan. Pemuda itu seketika tersadar dan menggerakkan posisi tubuhnya, duduk tersandar di dinding goa. Iapun melayangkan pandangan di sekitarnya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Vydia dengan cemas terhadap Alphonse yang terduduk dihadapannya. Sedangkan Alphonse hanya menganggguk pelan.
Keadaan sunyi seketika. Hanya tetesan kecil air dari goa yang terdengar.
“Mengapa kau pergi mencariku?” tanya Alphonse seketika. Vydia pun hanya menggelangkan kepalanya.
“Tentu saja karena kau rekanku” jawabnya singkat. Tapi Alphonse hanya terdiam sambil meunduk.
“Maaf” ucapnya singkat dalam suasana sunyi. Vydia tak percaya dengan apa yang Alphonse ucapkan. Sepatah kata yang membuat Vydia senang dalam keadaan sunyinya goa.
“Maaf, karena aku bertindak sangat egois. Aku hanya ingin menjadi arkeolog ternama seperti ayahku. Sayangnya beliau wafat saat aku mulai belajar di universitas. Aku hanya ingin berusaha meneruskan pekerjaannya”
“Tapi, aku tak banyak membantu. Wawasanku tentang dunia arkeologi tidak cukup banyak” ucap Vydia. Dan seketika Alphonse terkejut dengan pernyataan Vydia.
“Ada apa?” tanya Vydia.
“Aku hanya merasa aneh. Bagaimana bisa arkeolog ternama sepertimu tidak mempunyai wawasan yang cukup luas... Padahal kau lebih hebat dibanding diriku”
Seketika Vydia terkejut dengan ucapan pemuda itu. Diapun memalingkan pandangannya ke samping.
“Aku memang tak hebat. Aku tak mengerti penelitian yang dilakukan arkeolag, tujuan dari penelitian ini, serta kedatanganku ke Italy”
“Tapi kau-”
“Hanya anak berusia 11 tahun” potong Vydia terhadap ucapan Alphonse.
“Apa kau sedang bergurau? Arkeolog hebat sepertimu tak mungkin-”
“Tapi kenyatannya, jiwaku berusia 11 tahun. Aku tak mengerti, mengapa aku bisa berada di Italy. Sejak kejadian aneh itu” sambung Vydia sambil menundukkan kepalanya. Alphonse sedikit terkejut terhadap pernyataan Vydia.
“Apa yang terjadi?”
“Aku tak tahu pasti, yang kuingat saat itu aku terhisap kubangan air. Dan seketika aku berada di sisi jalan raya di Italy”
“Tapi disamping itu, kau telah menyelamatkanku dari badai kencang. Terima kasih rekanku” ucap Alphonse sambil tersenyum pada Vydia. Seketika tubuh Alphonse jatuh terbaring dan kembali tak sadarkan diri.
“A-apa yang terjadi?! Hei! Bangunlah!” teriak Vydia dengan cemas. “Apakah ia demam?” pikirnya sembari memegang kening pemuda itu yang tengah terbaring.
“Aku harus mencari bantuan. Tapi, dimana?! Tak ada satupun orang diluar sana” pikir Vydia dalam cemasnya sesuadah memegang kening pemuda itu yang sangat panas.
“Kit keselamatan!” seketika Vydia teringat barang bawaannya.
“Oh tidak! Aku meninggalkannya di tenda!” Vydia sangat cemas dengan keadaan rekannya. Tanpa pikir panjang iapun berlari keluar goa untuk mencari bantuan.
“Siapapun.... Tolong!!!!” teriak Vydia sambil berlari menerobos dedaunan pohon yang ditiup badai kencang. Tak sengaja ia jatuh tersandung ke tanah yang basah karena hujan.
“Tolong.... Siapapun!!!!” teriaknya kembali, tapi ia tak melihat satupun orang di sekelilingnya. Saat ia memoleh kan pandangannya ke arah belakang, Vydia melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti suku pedalaman. Dengan tangan kanan yang memegang tombak serta tangan kirinya yang memegang hewan buruan. Vydia pun mendekati pemuda itu dan megatakan bahwa ia butuh bantuan terhadap rekannya. “Apakah ia mengerti apa yang kuucapkan?” pikirnya sehabis meminta bantuan. Pemuda itu memangguk. Sepertinya ia mengerti apa yang Vydia katakan. Dan segera Vydia mengantarkannya ke goa tempat rekannya berada.
“Jadi kau bisa mengatasinya?” tanya Vydia pada pemuda asing tersebut.
Diapun hanya mengangguk sambil menyembuhkan rekannya.
“Apa dia sudah sembuh?” tanya Vydia beberapa menit kemudian. Kali ini pemuda itu menjawabnya.
“Sekarang dia sedang tertidur, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” ucapanya kepada Vydia.
“Terima kasih banyak” Vydia berterima kasih pada pemuda itu. Dan seketika Vydia teringat, muka pemuda itu persis seperti anak lelaki di mimpinya. Rasa penasaran Vydiapun mulai terbentuk.
“Kau berasal dari mana?” tanya Vydia spontan terhadap pemuda itu. Pemuda itu pun hanya menunduk terdiam terhadap pertanyaan Vydia. 
“Aku.... tak tau pasti asalku” jawabnya. Rasa penasaran Vydia semakin besar terhadap jawaban pemuda itu.
“Saat aku berusia 9 tahun, dan kejadian aneh menimpaku” jawab singkat pemuda itu.
“Kejadian aneh? Seperti apa?” tanya Vydia kembali. Pemuda itu mengangguk.
“Aku... terhisap kedalam danau” ucapnya sambil menunduk.
“Danau?” Vydia mulai mengingat kejadian aneh dalam mimpinya. Dan iapun teringat sesuatu.
“Danau! adakah kejadian sebelum kau terhisap?” Vydia semakin penasaran terhadap pemuda itu. Dan pemuda itu mengangguk kembali.
“Saat itu, keluarga kami mengunjungi danau. Tapi aku tak ingat dimana tempatnya, yang pasti saat sore hari aku terduduk di tepi danau tanpa seorang pun di sana. Saat melihat pantulan dirikiu di danau, tiba-tiba aku terhisap ke dalamnya. Kejadian aneh itu berlangsung begitu saja. Dan saat kubuka mata, aku berada disini. Peru” jelas pemuda itu.
“Dan, siapa nama keluargamu itu?” Vydia bertanya lagi dengan pandangan serius yang tertuju pada pemuda itu. Sedangkan pemuda itu terdiam sejenak.
“Beatrof” ucapnya. Vydia terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Air mata mengalir diwajahnya saat pemuda itu mengucap sepatah kata.
“Clement” panggil Vydia kepada pemuda itu sambil menangis serta memeluknya.
“Selama ini.... kau berada di sini? Kau.... baik-baik saja? Tak ada.... yang perlu.... dikhawatirkan, kini aku disini” ucap Vydia terbata-bata.
“Kenapa kau... tau namaku?” tanya pemuda itu. Vydiapun melepaskan pelukannya serta menghapus air matanya yang membasahi wajahnya.
“Aku... telah kehilangan adikku... saat kami sekeluarga... mengunjungi danau. Saat sore hari... semuanya telah... masuk ke vila dekat danau tersebut, aku sadar bahwa adikku, belum masuk, jadi... aku mencarinya di sekitar danau. saat itu... keadaanya berkabut, saat kulihat ada anak yang terduduk di tepi danau, aku mendekatinya, dan seketika anak itu menghilang. Dan kini... anak yang kucari... duduk... dihadapanku.” jelas Vydia yang masih terbata-bata. Air matanya kembali mengalir diwajahnya. “Walaupun ayah, ibu, dan kak Medly tak ada di sini, namun aku bersyukur bisa bertemu dengan adik laki-laki ku” pikir Vydia. Dengan senyuman lembut, Vydia menatap wajah pemuda yang ia panggil ‘Clement’.
Wajah pemuda itupun terkejut. Dan air matapun mengalir di wajahnya.
“Kak.... Vydia” dia memeluk kakaknya yang terduduk dihadapannya. Vydia pun membelai rambut sang adik yang baru ia jumpai. Tangisan sang adik menggema diantara gelapnya goa yang disinari seberkas cahaya api unggun. Dan seketika, tangisan itu terpotong oleh sekumpulan orang yang berdiri di depan goa. Mereka sepertinya memanggil Clement untuk pergi kembali bersama mereka.
“Itu para pasukan dan kepala suku. Sepertinya aku harus pergi” ucap Clement sembari melepaskan pelukannya dengan kakaknya. Vydiapun terdiam sejenak.
“Apa kau tak mau ikut bersamaku?” tanya Vydia terhadap sang adik yang telah berdiri dari duduknya.  Clement hanya menggelengkan kepalanya.
“Aku... tak bisa”
“Tapi kenapa?” spontan Vydia langsung bertanya. Clement hanya membalas pertanyaan sang kakak dengan senyuman lembut diwajahnya.
“Kita akan bertemu lagi kak”
“Bukan akan, tapi pasti” jawab Vydia sambil berdiri dan menghapus air matanya. Ia tersenyum kepada sang adik yang berdiri dihadapannya.
“Jaga dirimu baik-baik” sambung Vydia. Clement menjawabnya dengan mengangguk serta tersenyum kepada kakaknya.
Vydia melambaikan tangannya kepada sang adik yang mulai menjauh dari pandangannya. Cuaca cerah menutup kesedihan mereka yang telah terjebak perangkap waktu. []
***
Tim penelitian kami kembali pulang ke Italy. Semuanya kembali seperti semula. Seakan-akan tak ada hal yang terjadi. Namun yang masih memenuhi pikiranku, adalah Inca Stones yang ditemukan Alphonse hilang entah dimana. Dan hal yang masih memenuhi pikiranku, adalah sekumpulan orang yang pergi menjemput Clement dari goa. Mungkinkah itu suku Inca kuno yang hilang? Namun suku itu telah hilang pada masa sebelum masehi. Tapi tak ada bukti pasti terhadap keberadaan mereka saat ini. []
***
1Abad Pertengahan
2Jenis batuan beku vulkanik

-END- 

Waduh.... sepertinya banyak typo.. :' Maklum lah, masih newbie... Makasih buat yang dah baca 3 Part cerpen diatas... Grazie!!!

1 komentar:

Flag Counter